BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini masih banyak kalangan yang
melihat Islam secara parsial dimana Islam hanya diwujudkan dalam bentuk
ritualisme ibadah semata dan menganggap bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan
dunia perbankan, pasar modal, asuransi, transaksi eksport import, dll. Bahkan
mereka beranggapan bahwa Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya
sebagai penghambat perekonomian suatu bangsa, sebaliknya kegiatan ekonomi dan
keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai
normatif dan ketentuan Ilahi.
Cara pandang di atas bisa dikatakan
sempit dan belum melihat Islam secara “kaffah”. Islam adalah agama yang
universal, bagi mereka yang dapat memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara
utuh dan total akan sadar bahwa sistem perekonomian akan tumbuh dan berkembang
dengan baik bila didasari oleh nilai-nilai dan prinsip syari’ah Islam, dalam
penerapannya pada segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi ummat.
Sistem Perekonomian Islam bersifat universal
artinya dapat digunakan oleh siapapun tidak terbatas pada umat Islam saja,
dalam bidang apapun serta tidak dibatasi oleh waktu ataupun zaman sehingga
cocok untuk diterapkan dalam kondisi apapun asalkan tetap berpegang pada
kerangka kerja atau acuan norma-norma islami. Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan
landasan hukum yang lengkap dalam mengatur segala aspek kehidupan ummat, khususnya
di bidang ekonomi antara lain: Islam dirancang sebagai rahmat untuk seluruh
ummat, menjadikan kehidupan lebih sejahtera dan bernilai, tidak miskin dan tidak
menderita (Q.S. Al-Anbiya:107). Harta adalah amanat Allah, untuk mendapatkan
dan memanfaatkannya harus sesuai dengan ajaran Islam (Q.Q. Al-Anfal : 28).
Kurang berkembangnya Sistem Perekonomian Islam. Masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum paham akan ekonomi Islam ataupun tidak menjalankan sebagaimana mestinya, banyak diantaranya yang merasa takut menjadi miskin karenanya, padahal dalam Q.S Al-Baqarah : 268 dikatakan:
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti)
kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang
Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui". Apabila perekonomian di Indonesia
telah didasari oleh norma-norma Islam tentunya tidak akan ditemukan kemiskinan
ataupun penurunan taraf hidup dan perekonomian ummat seperti yang terjadi saat
ini.
Dalam
makalah ini penulis lebih memfokuskan pada perkembangan perekonomian islam di
indonesia sebagai sub unit financial yang merupakan bagian dari sub sistem
ekonomi ditinjau dari mitos dan kenyataan yang terjadi dalam prakteknya
B.
Rumusan
Masalah
a.
Apakah definisi dari ekonomi
islam?
b.
Bagaimana metodologi ekonomi
islam?
c.
Bagaimana perkembangan islam di
Indonesia?
C.
Tujuan
a.
Agar mahasiswa paham tentang
definisi dari ekonomi islam.
b.
Agar mahasiswa mengerti
metodologi yang ada dalam ekonomi islam.
c.
Agar mahasiswa mengetahui
perkembangan ekonomi islam yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ekonomi islam
Adapun definisi dari ekonomi islam menurut
beberapa tokoh, sebagai berikut :
a.
M. M. Metwally (1995), ekonomi islam
sebagai ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam suatu masyarakat yang
mengikuti al-Qur’an, As-Sunnah, Qiyas, Ijma’ yang mengendalikan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan dan menggunakan sumber daya yang ada.[1]
Dalam islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan
oleh karena itu dengan kecakapannya manusia dituntut untuk memakmurkan dunia
yang sekaligus sebagai ibadah kepada Allah. Dengan begitu ekonomi merupakan
sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan
berkecukupan itu dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks
kemaslahatan bersama.
b.
Muhammad
Absul Manan (1992), berpendapat bahwa ekonomi islam dapat dikatakan sebagai
ilmu yang memepelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang di ilhami oleh
nilai-nilai islam. Ia mengatakan bahwa ekonomi islam merupakan bagian dari
suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu
: al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas.[2]
c.
Dawan Rahardjo, ekonomi islam merupakan
ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran islam berdasarkan sistem yang
menyangkut pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau Negara
berdasarkan suatu cara atau dengan metode tertentu.[3]
.
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku
ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan
didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt
memerintahkannya, sebagaimana
firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang yang
beriman akan melihat pekerjaan itu.Karena kerja membawa pada
keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw: “Barang siapa diwaktu
sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat
ampunan. ( HR. Thabrani dan Baihaqi).” . Yang mana secara umum ekonomi islam
didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya memandang,
meneliti, dan menyelesaikan permasalahn-permasalan ekonomi dengan cara-cara
islami berdasarkan al-Qur’an, as-Sunah.[4]
Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam
mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta
menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya.
Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah
membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu
Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam
diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim
bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam
masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan
muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan
puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di
atas mencakup lima jaminan dasar:
a. keselamatan keyakinan agama
( al din)
b. kesalamatan jiwa (al nafs)
c. keselamatan akal(alaql)
d. keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
e. keselamatan harta benda (al mal)
Prinsip-Prinsip Ekonomi
Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki
beberapaprinsip dasar:
1. Berbagai sumber daya dipandang
sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai
oleh segelintir
orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya
direncanakan
untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di
akhirat nanti.
7.Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
7.Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
B.
Metodologi Ekonomi Islam
Konsep Ekonomi Islam Setiap sistem
ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya,
di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya, di lain pihak.
Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan
untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem
tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka di mana suatu
komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi
untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk
kepentingan konsumsi.
Validitas sistem ekonomi dapat diuji
dengan konsistensi internalnya, kesesuaiannya dengan berbagai sistem yang
mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan
tumbuh. Karena itu suatu sistem ekonomi tidak dapat diharapkan untuk
menyiapkan, misalnya, komposisi khusus barang-barang ekspor di negara tertentu,
fungsi produksi yang praktis bermanfaat atau secara matematik dapat dikelola,
atau rumusan mengenai bagaimana memperbesar fungsi-fungsi tuntutan individual
dalam tuntutan yang berskala nasional. Komponen-komponen teori ekonomi seperti
itu tidak dapat diawali dengan sistem tersebut karena komponen-komponen itu
timbul dalam aplikasi praktis sistem tersebut dalam tatanan berbagai kondisi
yang ada. Dengan melihat kondisi-kondisi ini dan dalam kerangka sistem ekonomi
yang berlakulah unsur-unsur teori ekonomi seperti bisa dikembangkan, diuji dan
diteorisasikan.
Sebagai konsekuensinya suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan.
Sebagai konsekuensinya suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan.
Berbagai aksioma dan prinsip dalam
sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses
fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan
aplikabilitasnya. Namun demikian, perbedaan yang nyata, seharusnya ditarik
antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam
literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah
ini. Sebagai akibatnya, beberapa buku yang dikatakan membahas "sistem
ekonomi Islam" sebenarnya hanya berbicara tentang latar belakang hukumnya
saja, atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam.
Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai
kajian sisterm ekonomi, sama sebagaimana kajian terhadap tatabahasa yang hanya
sedikit menyinggung pembentukan keterampilan berpidato saja
Selain itu, suatu pembedaan harus
ditarik antara bagian dari Hukum (Fiqh) Islam yang membahas hukum dagang
(Fiqhul-Mu'malat) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan
kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan,
sedangkan yang disebut belakangan mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan
manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam
masyarakat Muslim Ekonomi Islam dibatasi oleh Hukum Dagang Islam, tetapi ini
bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian ekonomi itu. Sistem sosial Islam
dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak pengaruh, atau bahkan lebih
banyak, terhadap cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem hukumnya.
Tidak adanya pembedaan antara
Fiqhul-Mu'amalat dan ekonomi Islam seperti itu merupakan sumber lain dari
kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam. Beberapa buah buku
menggunakan alat-alat analisis fiqh dalam ekonomi, sedangkan buku-buku lain
mengkaji ekonomi Islam dari sudut pandang fiqh. Sebagai contoh, teori konsumsi
kadang-kadang berubah menjadi pernyataan kembali hukum Islam mengenai beberapa
jenis makanan dan minuman, bukan kajian mengenai perilaku konsumen terhadap
sejum1ah barang konsumsi yang tersedia, dan teori produksi diperkecil maknanya
sebagai kajian tentang hak pemilikan dalam Islam yang tidak difokuskan pada
perilaku perusahaan sebagai unit produktif.
Hal lain yang tidak menguntungkan
dalam membahas ekonomi Islam dalam peristilahan Fiqhul-Mu'amalat adalah bahwa
ancangan seperti itu, pada dasarnya, terpecah-pecah dan kehilangan keterkaitan
menyeluruhnya dengan teori ekonomi. Barangkali hal inilah yang menjadi sebab
tidak adanya teori moneter makroekonomik dalam semua literatur mengenai ekonomi
Islam.
Kajian tentang sejarah sangat penting
bagi ekonomi karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai
salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan
eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan-kecenderungan jangka-jauh
dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada
ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti
individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi (itu sendiri).
Baru sedikit yang dilakukan untuk
menampilkan sejarah pemikiran ekonomi Islam. Hal ini tidak menguntungkan karena
sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin politik muslim sudah
mengembangkan gagasan-gagasan ekonomik mereka sedemikian rupa sehingga
mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai para pencetus ekonomi Islam
yang sebenarnya. Penelitian diperlukan untuk menampilkan pemikiran ekonomi dari
para pemikir besar Islam seperti Abu Yusuf (meninggal th. 182 H), Yahya bin
Adam (meninggal th. 303 H), al-Gazali (meninggal tahun 505 H), Ibnu Rusyd
(meninggal th. 595 H), al-'Izz bin 'Abd al-Salam (meninggal th. 660 H), al-Farabi
(meninggal th. 339 H), Ibnu Taimiyyah (meninggal th. 728 H), al-Maqrizi
(meninggal th. 845 H), Ibnu Khaldun (meninggal th. 808 H), dan banyak lainnya
lagi.
Kajian tentang sejarah pemikiran
ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran
ekonomi Islam kontemporer, di satu pihak dan di pihak lain, akan memberi
kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya
ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi
dan aplikasinya.
Kajian terhadap perkembangan historik
ekonomi Islam itu merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap
gagasan ekonomi. Ini memiliki arti sangat penting, terutama dalam bidang
kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Namun peringatan terhadap adanya dua
bahaya perlu dikemukakan bila aspek historik Islam itu diteliti. Pertama,
bahaya kejumbuhan antara teori dengan aplikasi-aplikasinya, dan kedua,
pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya pertama muncul ketika para pemikir
ekonomi Muslim modem tidak membedakan secara jelas antara konsepsi Islam dan
aplikasi-aplikasi historiknya.
Hal ini tampak sangat jelas dalam
cakupan keuangan negara, karena hampir semua buku mengenai keuangan negara yang
ada dalam perpustakaan Islam kontemporer menganggap sumber-sumber negara
sebagai sumber-sumber yang ada pada masa negara Islam besar, sejak masa 'Umar
bin Khattab sampai masa Harun al-Rasyid. Sedikit sekali perhatian diberikan
kepada pengembangan teori tentang keuangan negara yang didasarkan atas
Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Hal ini tercermin dalam penampilan histori
keuangan negara dalam Islam yang sedikit sekali memberikan ksempatan untuk
menguji aplikabilitasnya pada saat sekarang karena karena adanya perubahan
suasana di semua negara Islam.
Bahaya kedua muncul ketika para ahli
ekonomi Islam menganggap pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu
sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan untuk mengancang Al-Qur'an dan
Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi
Islam yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideology.
Rancangan historik dalam kajian
terhadap ekonomi Islam itu kadang-kadang diterapkan dalam kaitannya dengan masyarakat-masyarakat
Muslim masa sekarang. Hal ini tercermin dalam ekonomi Islam yang hanya
berbicara tentang harta dan penghasilan, konsumsi yang tidak semestinya dan
sebagainya, bukan mengenai penanggulangan mekanisme makroekonomik dari sistem
ekonomi Islam itu. Tidak diragukan bahwa beberapa persoalan di negara-negara
Islam sekarang ternyata serius dan penting, dan bahwa persoalan-persoalan
tersebut seharusnya dibahas dalam kerangka ekonomi Islam itu, namun bila sistem
ekonomi Islam itu merupakan sistem yang pokok bahasannya, misalnya,
nasionalisasi industri dan penataan pemilikan tanah (land reform
Batas-batas antara sistem ekonomi
Islam yang bisa diaplikasikan terhadap perekonomian yang sehat dengan
pertumbuhan yang normal, di satu pihak, dan tindakan-tindakan darurat yang
dapat diambil oleh para pejabat penanggungjawab bidang perekonomian untuk
membahas masalah sementara seperti peran ketidakadilan dalam distribusi
barang-barang, atau kemiskinan, di pihak lain, seharusnya diberi demarkasi
(juga). Tanpa demarkasi seperti itu, ekonomi Islam akan menjadi kajian parsial
terhadap gejala-gejala peralihan yang akan menimbulkan pemborosan setelah
pembangunan negara-negara Islam itu, ini tidak berarti bahwa
persoalan-persoalan seperti persoalan-persoalan pembangunan itu tidak boleh
mendapatkan perhatian langsung dari para ahli ekonomi Islam itu, melainkan
harus diartikan bahwa persoalan-persoalan ini harus ditanggulangi dalam
kerangka teori umum ekonomi Islam yang mempertahankan relevansinya dengan semua
tahap pembangunan ekonomi dan suasana politik.
Diversifikasi literatur Islam modem
mengenai ekonomi timbul dari kesulitan inheren dalam jenis kajian ini. Sama
sekali tidak ada "Teori Ekonomi Islam" yang tertulis dalam
pengertiannya yang ketat. Selain itu, bahkan mungkin banyak orang berkeberatan
dengan digunakannya istilah "Teori Ekonomi" itu dengan alasan bahwa
bila suatu teori adalah penafsiran terhadap beberapa aspek realitas, berarti
bisa terdapat banyak teori yang bernafaskan nilai-nilai filosofik Islam dalam
penafsiran terhadap realitas ekonomi. Ketidakjelasan diantara kedua pandangan
ini telah mendorong sejumlah penulis untuk menampilkan pandangan yang sangat
sempit mengenai filsafat ekonomi Islam dan membingkainya dengan cara sangat
terbatas yang tidak sesuai dengan implikasi-implikasi teoretik nilai-nilai
filsafat ini. (Upaya pertama untuk menetapkan demarkasi batas-batas antara
filsafat ekonomi dalam Islam dan teori-teori ekonomi dari para penulis bidang
ekonomi dilakukan oleh as-Sadr pada tahun 1964. Dia diikuti oleh M.N. Siddiqi
pada tahun 1971.
Kesulitan tipe kedua dihadapi tidak
hanya oleh penelitian di bidang ekonomi Islam tetapi oleh semua kajian yang
membahas berbagai aspek sosial Islam, ia muncul dari hakikat sumber-sumber
hukum Islam itu sendiri. Al-Qur'an dan Sunnah Al-Qur'an merupakan firman
(kalam) Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi
kehidupan perilaku manusia, Kitab Suci itu tidak tersusun dalam bagian dan bab,
yang masing-masing membahas, kehidupan manusia seperti Hukum, Politik, Ekonomi
dan sebagainya, dan juga tidak diberi judul-judul di dapat menemukan berbagai
aplikasi dan aturan yang bersumber daripadanya. Kadang-kadang ia merupakan
rincian yang tepat, misalnya, dalam kaitannya hukum waris. Dalam hal-hal lain ia
hanya menyinggung pemecahan secara garis besar, yang menunjukkan bahwa
seharusnya para 'ulama' dan pemikir Muslim dapat mengembangkan dan melengkapi
rincian-rincian yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip ini dan dengan
memperhatikan situasi yang ada.
Mengancang dan mengembangkan
teori-teori semacam itu adalah tugas para sarjana Muslim, dan hasil-hasil yang
diperoleh dari upaya-upaya ini tidak dapat dikaitkan baik dengan Allah maupun
dengan Al-Qur'an. Yang dapat dikemukakan mengenai hal ini bahwa ia adalah
pandangan (sarjana-sarjana) Muslim tetapi bukan pandangan Islam, karena
berbagai akibat dari situasi mereka terhadap teoretisasi tersebut tidak dapat
diingkari. Selain itu mereka tidak memiliki otoritas untuk menafsirkannya.
Memang tidak ada seorang pun memiliki
hak istimewa seperti itu. Sumber kedua, yaitu Sunnah, adalah pemahaman dan
aplikasi Nabi terhadap Al-Qur'an. Kesulitan yang ditampilkan oleh sumber ini
timbul dari kenyataan bahwa Nabi ketika itu, pada saat yang sama, adalah juga
kepala negara. Karena itu sangat sulit untuk dibedakan antara sikap-sikapnya
terhadap ajaran-ajaran Al-Qur'an yang bersifat permanen dan mengikat untuk
selama-lamanya, dan terhadap aturan-aturan yang terkait dengan berbagai situasi
di masa hayatnya, disamping kesulitan tersebut di atas. Upaya pertama yang
dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengangkat rincian-rincian yang rumit
megenai bidang ekonomi dari dalam Al-Qur'an dan Sunnah itu ke dalam teori
dilakukan pada tahun 1964, lagi-lagi, oleh as-Sadr.
Pernyataan terakhir dalam bagian
metodologi ini akan membahas alat-alat analisis. Literatur Islam yang ada
sekarang nengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode. Pertama adalah metode
deduksi dan kedua metode pemikiran etrospektif. Metode pertama dikembangkan
oleh para ahli hukum Islam, Fl-lqalta', dan sangat dikenal di kalangan mereka,
diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip
sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber
Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak
penulis Muslim kontemporer yang merasakan tekanan: kemiskinan dan
keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap
persoalan-persoalan ekonomi umat Muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan
Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya
dengan memperhatikan Petunjuk Tuhan.
Kajian dalam pembahasan ini
mempergunakan kedua metode tersebut. Namun perlu disadari bahwa kedua metode
ini pada dasarnya diaplikasikan dalam kajian terhadap aturan-aturan dan
prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam tetapi hanya sedikit bisa diaplikasikan
dalam kajian terhadap makroekonomi dan keseimbangan umum dalam sistem ekonomi
semacam itu, atau bahkan dalam kajian terhadap teori-teori konsumsi dan
matematik tertentu. Karena itu kajian ini akan mengaplikasikan alat-alat
analisis matematik yang dikenal dalam teori ekonomi modern kapan saja dirasa
perlu atau dianggap bermanfaat. Memang sebenarnya metode yang digunakan para
Fuqaha pun sebenarnya bersifat matematik dalam semangat dan kecenderungannya.
C.
Perkembangan Ekonomi Islam Di
Indonesia
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
[1] M. M. Metwally, Teori dan
Model Ekonomi. Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995
[2] M. Abdul Mannan, Islamic
Economic: Theory and Practice. Delhi. Sh. M. Ashraf, 1970
[3] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta:
LSAF, 1999, hlm. 18.
[4] Tim P3EI dan BI, Ekonomi Islam (Jakarta: Rajagrafindo Pers ,2008),
hlm. 32.